TumbleCatch

Your gateway to endless inspiration

Sajak - Blog Posts

10 months ago

Bertemu dalam Doa

@miakamiya

Embun pagi membasahi jiwa-jiwa pencari.

Entah jati diri. Entah makna diri.

Tak ingatkah ia akan janji Tuhannya?

Ia begitu dekat, lebih dekat dengan urat nadi (QS. 50: 16).

Tiap malam ia bersua dengan si Empunya makhluk.

Berkata bahwa ia hari ini berkelakuan baik.

Bahwa ia dua hari lalu merasa seperti pecundang.

Bahwa ia, mungkin, lusa menjadi orang paling brengsek.

Tapi ia minta agar Tuhan tetap mau bertemu dengannya.

Pada jam yang sama, tempat yang sama.

Tidak ada yang paham dengan jalan pikirnya yang begitu rumit.

Tidak ada yang mau peduli sampai dekat.

Sampai ia rasakan sepi yang melekat.

Semilir angin sebelum cahaya itu menjadi saksi.

Bahwa janji Tuhan datang mengisi hati para pencari.

6/6/2024


Tags
3 years ago

Rumah Tak Berkunci

@miakamiya

mk-4/2022

Aku terjaga tepat pukul 2 dini hari. Bukan karena mimpi seram atau bertemu idola, namun mimpi absurd yang menjawab keresahanku selama beberapa tahun belakangan. Seperti alam bawah sadarku yang ingin memberitahu bahwa setiap keresahan, kecemasan, ketakutan yang kualami, diri sendiri jugalah yang tahu penyembuhannya.

Mimpi itu masih teringat jelas hingga saat ini. Aku duduk di kursi penumpang pada kendaraan roda dua yang mengantarkanku ke sebuah rumah, menyusuri deretan pohon-pohon besar dan kokoh. 

Ketika sampai di halaman rumah asing itu, sang pengemudi berkata, “Rumah itu tidak ada kuncinya.” Ia lalu sengaja menabrakkan kendaraannya ke pagar besi yang juga tidak memiliki kunci. Bunyi berdentang barusan dipakai olehnya sebagai “ketukan” agar si empunya rumah keluar.

Seorang wanita berkerudung keluar rumah. Wajahnya bersih dan teduh, senyumnya berwibawa, lalu ia berjalan menghampiriku dan bertanya dengan suaranya yang tak kalah berkarisma.

“Apa yang kaucari di sini?” Sebuah pertanyaan ganjil dan lekas kujawab tak kalah ganjil. “Aku mencari ketenangan,” kataku.

Aku tidak percaya dengan jawabanku sendiri. Namun, tatapanku begitu pasrah dan payah.

Itulah jawaban paling jujur yang pernah kusampaikan dalam hidupku. Wanita paruh baya itu tersenyum. Wajahnya memiliki karisma yang sama dengan guru mengajiku saat belajar di surau dulu.

“Apa yang membuatmu tidak tenang?”

Pertanyaannya membuatku kembali mengingat semua peristiwa yang pernah kualami. Cemas, takut, kecewa, pahit, kosong, hingga mati rasa.

Seakan tahu apa yang kupikirkan, ia kembali bertanya, “Apa kauyakin apa yang kaucari ada di sini?” Aku menatap matanya dalam.

 22/9/2021


Tags
3 years ago

One Sided

@miakamiya

My eyes that following you like a shadow and slowly knows you better day by day. I became an expert observer of your life. Knowing your good and bad side, your angry face, your sad face, and of course your happy face too.

I'm always standing behind you like a fool because I hope that someday or even once, you'll turn around and see me. Even thought it just a glance, at least, you know that I'm exist.

But, your back that against me while you are smiling happily to the girl In front of you. Makes me realize that I'm just a loser even before the match started.

3/3/2022


Tags
3 years ago

Ketika Hujan Mengulitimu

image

@miakamiya 

Kugenggam sepotong cinta yang telah lama kurawat selama belasan tahun, yang ingin kuberikan hanya kepadamu dengan senyuman dan suara merdu saat menyapamu. Warna cinta yang masih merah bersinar ini  pastinya ‘kan membuat rona pipimu. Mungkin saat itu terjadi, aku menjadi salah tingkah, kikuk, malu dan berdebar-debar jadi satu. Melihatmu adalah alasan bagiku untuk menikmati hidup, untuk semua itu, aku berucap beribu syukur kepada Yang Kuasa.

Sejauh yang kuingat, kita hanya bocah ingusan kala itu. Tidak mengetahui rasa apa itu. Kita hanya kerap bermain bersama. Terkadang tanpa alas kaki, menginjaki rerumputan sembari berpegangan tangan. Kita menari-nari di bawah sinar matahari hingga langit merambat berwarna jingga. Wajahmu yang seakan-akan merona diterpa warna senja—kuning  kemerah-merahan, merah kekuning-kuningan.  

Entah berapa banyak festival kuhadiri bersamamu, demi melihat senyummu merekah. Caramu memanggil namaku yang kerap menggema di dinding hatiku. Saat kita memandang langit malam hari dan kulihat bayanganmu dengan jelas di sana, dan berpikir seperti orang bodoh, apakah kau juga melihat bayanganku sama halnya denganku?

Masih ingatkah kamu, sewaktu duduk di sekolah dasar, kelas 6 tepatnya, kauterjatuh dan aku menggendongmu di punggungku, entah kepada siapa kumemohon, untuk tidak membiarkanmu lepas dari punggungku, dan berdoa sedikit lagi, tolong, biarkan kami tetap seperti ini, sedikit lebih lama lagi.

Tak dapat kutemukan kata yang pas, perasaan apa itu.

Sayangnya, aku mulai menginginkan sesuatu yang lebih dari sekadar itu. That blooming feeling, I must know what it is. Itulah yang kupikirkan, demi mengetahui, kenapa perempuan yang hanya memakai baju tidur saat menonton pertunjukan wayang malam itu, begitu... sempurna.

Aku harus mengurai perasaan apa ini, kenapa jantungku tiba-tiba berdegup kencang saat bersamanya, kenapa aku merasa bahagia saat dia terus berada di dekatku. Kenapa aku ingin keadaan ini terus berlangsung selamanya.

Uke, di mataku kau tak memiliki cela. Mungkin Tuhan telah bermurah hati menutupi aib-aibmu di hadapanku sehingga kukira, kaudikirim oleh-Nya, sebagai malaikat berwujud manusia yang kian membuat indah imajiku terhadapmu. Hal itu pula yang membuat manusia-manusia itu iri kepadamu dan menyebarkan berita tak benar tentangmu. Itu hanya persepsi mereka. Tak jadi soal bagiku.

Ingatlah Uke, ketika kauingin menyerah, saat langit tak lagi bersahabat, saat orang-orang yang kausebut teman, pergi entah kemana. Aku adalah laki-laki yang akan selalu berdiri di sampingmu: seperti tempat berteduh yang kausebut rumah; atau seperti payung yang melindungimu saat hujan.

“Jangan menangis, karena aku ada di sini melindungimu.”

Menurutku, kau adalah Uke, seorang wanita luar biasa yang dicintai oleh laki-laki biasa sepertiku. Aku pun akan tetap mencintaimu, jatuh cinta kepadamu, meskipun kauberwujud kucing, capung, atau kupu-kupu sekalipun. Dan aku akan tetap menyukaimu bahkan hingga di kehidupan-kehidupanmu selanjutnya.

Terima kasih telah lahir ke bumi dan membuat indah hujan rinai ini, bersama warna hijau daun; warna-warni bunga; menambah lengkap latar belakang dirimu berdiri saat ini.

Uke, garis hidup manusia memang gampang-gampang susah ditebak. Tuhan hanya mengizinkanku untuk sekadar bisa takjub memandangimu dari jendela kelasku. Tuhan hanya mengizinkanku untuk sekadar merasakan keheranan saat kau meminjam penggarisku saat ujian semester saat masa sekolah dulu. Dan karena kejadian kecil itu, aku bisa melihat dengan jelas wajahmu yang putih dan bercak cokelat di sekitar hidungmu yang kecil dan mancung itu. Itulah saat kali pertama kumenyadari perasaan apa itu.

Tuhan hanya mengizinkanku untuk sekadar tertawa bersamamu saat kaumulai bertingkah konyol dan lucu. Tuhan hanya mengizinkanku untuk sekadar bertemu denganmu dalam setiap mimpi-mimpiku yang selalu membuatku tertawa dan merasa nyaman, sekaligus juga merasa berbunga-bunga ketika berada di dekatmu. Di mimpiku, kaumilikku seorang, tanpa ada yang mengintervensi, kecuali mimpi terakhirku bersamamu yang membuatku harus cemas ketika terbangun. Kau pergi bersama teman SMA-mu, lebih tepatnya... dia adalah pacar pertamamu.

Mencintaimu, Uke, membuatku menyadari bahwa terkadang hidup itu berat sebelah, hidup itu tidak adil, hidup itu semu, hidup itu... mengecewakan. Membuatku menyadari bahwa cinta itu hanya untuk dongeng-dongeng sebelum beranjak tidur.

Uke, cinta ini telah membumbung tinggi dan dalam seketika tergelincir ke bumi, menjadikanku manusia yang tidak menginginkan lagi mencari cinta, segan bermimpi, dan berangan kosong. Aku pun sempat kuberpikir bahwa perkawinan itu sia-sia untuk orang sepertiku. Pernikahan itu hanya menjadi sebuah kewajiban tanpa esensi bagi manusia dan tidak ada kata tawar-menawar.

Kata “pernikahan” membuatku tergagap, bergidik ngeri, apakah nantinya dapat mempertahankan sebuah perjanjian besar yang menurut orang-orang itu suci. Ya, pernikahan itu suci dan menyempurnakan manusia. Namun, hal yang paling krusialnya adalah, apakah aku dapat mencintai orang lain selainmu, Uke?

Sekarang, tidak ada lagi bidadari dalam mimpiku yang berambut panjang, dengan senyum khasnya, memakai kemeja flanel warna merah dan jeans biru navy, yang membisiki kata-kata lucu dan menyebarkan gelak tawa di seluruh awang-gemawang.

Uke, aku rindu. Biarlah segala kesunyian ini menjadi milikku seorang. Biarlah foto kita yang berukuran 4R saat studi ekskursi ini yang menjadi pelipur laraku. Biarlah siluet punggungmu yang kulihat dari jauh, cukup memenuhi rasa kangenku padamu. Biarlah lagu favorit kita berdua menjadi pengantar tidurku dalam menikmati reminisensi bersamamu.

Tuhan hanya mengizinkanku untuk sekadar bercanda dan bermain di taman bermain bersamamu, menghabiskan malam setelah jam pulang kantor. Tuhan hanya mengizinkanku untuk sekadar mengagumimu, mencintaimu, mensyukuri kehadiranmu sebatas sepihak. Cinta yang sedari tadi kugenggam, kini membeku. Takdir telah menuntunku untuk melihat sesosok pemuda yang berjalan ke arahmu dan memakai cincin bermotif senada denganmu.

Takdir jugalah yang membuka mataku bahwa kautelah memilih pria lain. Dalam balutan kebaya berwarna cokelat emas, kautampak semringah bersanding dengannya. Ah, Uke, kenapa harus dengannya? Dia tidak pantas berdampingan denganmu. Kenapa bukan aku? Apa yang menarik darinya? Apa bagusnya dia? Apakah kautidak menyadari, dia tidak dapat mencintaimu, seperti aku mencintaimu?

Tidak dapatkah kaumerasakan setiap perhatianku padamu? Apakah semua cinta yang kuberikan tidak cukup menemukan siapa pria yang tepat untukmu?

Seperti orang idiot, aku menunggumu di tempat yang sama; memandang jendela kamarmu yang masih gelap; sepeda merah yang biasa kaunaiki saat pergi ke sekolah dulu; minimarket tempat kita belanja kudapan saat mengikuti grup belajar dulu; saat-saat aku pernah membohongi diriku sendiri dan berakting seperti teman biasa di depanmu; semua itu ingatanku padamu.

Semua kenangan bahagia itu menyakitkan. Sesakit usahaku untuk meyakinimu ketika menyampaikan rasa sukaku padamu. Waktu kini semakin larut, kini aku menderita insomnia. Aku tahu cinta adalah rasa sakit. Akan tetapi, haruskah aku ‘dihukum’ sekejam ini karena mencintaimu?

Janji yang dulu kita ikrarkan, masih kujaga hingga sekarang. Hangat tanganmu saat kita sama-sama memegang payung ketika hujan turun. sedetik pun tidak akan pernah melupakannya. Jejak aroma parfummu yang tak bisa hilang, masih tersisa pada barang-barang pemberianmu. Takdir kita memang sudah terputuskan, namun hatiku masih sama, mengharapkanmu.

Musim berganti. Kukatakan kepada diriku sendiri, “sudah cukup”. Kini, surat cinta yang pernah kutulis untukmu telah usang. Sia-sia kuselipkan di kotak suratmu. Surat yang berisi pernyataan cintaku yang tulus, di sini, aku berulang-ulang menyatakan cintaku seorang diri di malam yang menyedihkan ini. Berulang-ulang menyatakan, aku menyukaimu lebih darinya, walaupun mungkin hanya sebuah April Mop untukmu.

Meski kutetap bermimpi tentangmu, seperti deja vu, kuterus memanggil namamu lagi dan lagi. Kini semua terasa getir. Selamat tinggal, Uke. cinta pertamaku, perempuan yang telah memberikan warna-warni bagi kedua mataku.

Kutatap kursi kosong di taman tempat kita biasa bermain, tenggelam bersama raut wajahmu yang masih tersenyum manis dalam memoriku. Selamat tinggal, Uke. Wanita yang pernah datang dan pergi membawa sebagian hidupku.

Kau telah memilih.

I softly whisper, wishing your happiness.

Seketika rinai ini menjadi bumerang bagiku. Melunturkan warna merah cinta yang sedari tadi kupegang hati-hati. Rinai itu berubah menjadi hujan deras bersama butiran-butiran air jernih dari sudut mataku. Meninggalkan cinta yang merah pudar dan tak berpendar ini bak diorama satu warna, hitam dan putih, tanpa jejak-jejak kehidupan di situ.

Depok, 2017


Tags
4 years ago

Anak Laki-Laki di Dasar Kolam

@miakamiya

“Shameless!” “Fool!” Kedua kata itu terdengar ketika kuterbangun dari tidur. Entah alam bawah sadarku yang meneriakkannya atau karena hal lain. Tubuhku terasa berat setelah dibangun paksa oleh suara itu. Samar-samar kuingat kembali mimpi dengan suara barusan. Namun, aku malah teringat kejadian sepuluh tahun lalu, saat diriku begitu polos, menuruti semua dikte orang lain. Anak rajin yang periang. Semua kenormalan anak kecil: periang, rajin dan polos itu, mantap membuat orang dewasa di sekelilingmu berpikir bahwa kaubaik-baik saja. Tak ada yang salah padamu. Tak ada yang salah pada lingkungan sekitarmu. Hingga menjadi anak kecil membuat argumentasimu tidak didengar, hanya manusia minor yang otaknya belum sempurna betul. Tahu apa jika seseorang belum bekerja dan punya penghasilan. Mereka hanya dianggap anak kecil. Tidak lebih, tidak kurang.

Kubuka jendela kamarku. Matahari masih belum muncul, tapi aku segera bergegas pergi bekerja. Ya, ke tempat orang dewasa berkumpul. Aku menjadi bagian dari masyarakat yang normal dan layaknya orang dewasa pada umumnya. Setelah aku menyerap dan menganalisis perilaku orang-orang di sekelilingku, gaya bicara, gaya berpakaian, dan perilaku, supaya mereka mengira bahwa lawan bicaranya adalah sesama orang dewasa, dan tidak curiga padaku. Karena, orang “dewasa” berbicara pada orang yang memiliki gelar, kekayaan, membentuk perkumpulan konyol mereka. Jiwaku yang terperangkap tubuh orang dewasa ini, lebih banyak tidak mendengar ucapan-ucapan yang mereka lontarkan padaku.

Aku teringat pada Pangeran Kecil yang pernah berkata bahwa ia menceritakan semua detail mengenai Asteroid B612 ini sampai menyebut nomornya, gara-gara orang dewasa. Orang dewasa menyukai angka-angka. Jika kalian bercerita teman baru, mereka tidak pernah menanyakan hal-hal yang penting. Mereka tidak pernah bertanya, “Bagaimana nada suaranya? Permainan apa yang paling disukainya? Apakah ia mengoleksi kupu-kupu?” Mereka bertanya, “Berapa umurnya? Berapa saudaranya? Berapa berat badannya? Berapa gaji ayahnya?” Hanya demikianlah mereka mengira dapat mengenalnya[1].

Sambil kumenunggu bus tiba, aku selalu menyematkan handsfree di kedua telingaku agar tidak mendengar obrolan menjemukan dari orang dewasa yang berlalu-lalang di sekelilingku atau pura-pura tidak mendengar ketika rekan kerjaku yang kebetulan melihatku dari jauh. Namun, entah kenapa, dari samping halte bus, mataku tidak bisa mengalihkan pandangan.

Aku melihat anak kecil berjongkok, kepalanya tertunduk. Ia berada di dasar kolam dipenuhi air berwarna biru. Tidak ada yang bertanya padanya, “Apa kaubaik-baik saja?” Tidak ada satupun yang mau mengulurkan tangannya untuk anak laki-laki itu, meskipun kolam itu berada di tengah kota yang sibuk. Sesosok anak laki-laki tanpa nama, begitu kata mereka. Ia hanya lelah pada sekelilingnya hingga ia berlari sekencang mungkin. Ia memohon agar semua itu hanya mimpi dan menyesalkan mengapa hal itu terus berulang. Dari mana awal mulanya kebiasaan itu muncul? Bagaimana mengakhirinya? Adalah sesuatu yang harus ia temukan jawabannya segera. Namun, akhirnya ia lelah berlari menjauh hingga ia kembali lagi pada titik nadir itu. Ia menyerah dan memutuskan untuk mendiami kolam itu.

Tubuhnya kecil, wajahnya pucat, warna kulitnya pun putih pucat. Bila tangannya digenggam paksa maka urat nadinya akan langsung tampak kemerah-merahan, membiru jika terlalu lama dicengkeram. Seringkih itukah ia? Anak laki-laki tanpa nama itu, seakan bermata biru langit malam. Begitu melihatnya kauakan tenggelam, betapa magis tatapannya. Wajahnya begitu dingin, namun seperti membutuhkan sebuah pelukan hangat. Maaf, aku tidak bisa menolongmu karena aku pun butuh pertolongan, pikirku. Aku bergerak menjauh dari sisi kolam. Membiarkannya kembali tertunduk di dasar kolam. Sejenak aku terhenti. Membayangkan bagaimana jika tak ada satu pun orang yang repot-repot menjemputnya paksa untuk keluar dari kolam? Dapatkah ia bertahan di tengah membekunya suhu air di bawah sana? Jika bukan aku, apakah ia... akan... mati?

Seratus dua ratus meter dari bibir kolam. Aku tetap melanjutkan perjalananku yang melelahkan tanpa tahu akhirnya akan bagaimana. Berusaha menjadi orang yang tidak melihat kejadian barusan. Aku menyadari, apa bedanya yang kulakukan tadi dengan orang dewasa yang selama ini kubenci? Aku tertunduk malu dan menyadari begitu bodohnya diriku. Mengulang kembali kesalahan yang sama. Mengabaikan suara dirimu sendiri. Tidak pernah mengutarakan apa maumu, apa yang membuatmu bahagia.

Hingga kaki ini tanpa kuperintah berbalik pada kolam itu. Kuceburkan tubuhku ke dasar kolam dan mendapatinya masih tertunduk. Kuraih tangannya hingga ia melihatku dengan mata warna biru langit malam itu. Ah,,, mata itu, kini aku benar-benar tenggelam karenanya. Ia menggenggam tanganku, memelukku erat. Apakah kami akan sama-sama tenggelam atau akan muncul kepermukaan setelah itu? Kami tidak mau tahu, yang jelas ia tidak akan kesepian, tidak akan sendirian lagi.

(25/3/2021)

[1] Le Petit Prince – Antoine De Saint-Exupery

Anak Laki-Laki Di Dasar Kolam

Tags
Loading...
End of content
No more pages to load
Explore Tumblr Blog
Search Through Tumblr Tags