Your gateway to endless inspiration
@miakamiya
Mirah menatap sepiring nasi uduk sisa dagangan Mak pagi itu. Meski hanya menjual nasi uduk saja, setiap pagi nasi uduk Mak memiliki rasa berbeda.
Entah orek tempe yang agak keras, bawang goreng layu, atau bihun yang kaku. Ya, bihun yang sudah dimasak itu kembali agak kaku dan menempel karena terlalu lama mendiami wadah rantang yang terpapar panas matahari di atas meja dagangan.
Mak, seperti biasa, mondar-mandir antara dapur dan meja dagangan. Mulutnya sibuk mengoceh sejak awal selepas Mirah menyendok nasi uduk dari termos nasi.
“Duit dari mana? Ini Mak susah-susah dagang buat kamu sekolah supaya kamu lekas kerja, Mir.”
“Opo kamu ora kasian liat Mak capek kerja sampe kamu lulus?”
“Bukannya bantuin Mak kerja, kamu malah bilang mau kuliah. Koyok Mak mu ini wong sugih wae.”
Mata Mirah pedih, kupingnya panas mendengar perkataan Mak. Meski begitu, Mirah bergeming.
Mulutnya sibuk mengunyah, sementara matanya menatap kosong sarapannya itu. Nasi uduk pagi buatan Mak selalu terasa hambar akibat ucapan Mak yang itu-itu melulu.
Kenapa musti Mirah yang mengalah, Mak? Apa Mirah tak berhak berusaha dapat yang Mirah mau? Cita-cita bak barang mewah bagi keluarga ini.
Anak-anak dilahirkan seperti hanya sebuah alat untuk menambah kantong pemasukan mereka. Apa aku dilahirkan hanya untuk itu?
Aku tahu aku dilahirkan dari keluarga tak punya, tapi wajibkah aku mengikuti seluruh ucapan mereka? Mereka mengatur hidupku menjadi apa yang mereka dikte.
Mereka menyalahkan takdir miskin yang mereka alami sebab aku dan adik-adikku lahir. Pemasukan mereka harus dibagi untuk kelima anak-anaknya.
Kenapa mereka tidak berusaha mengubah nasib mereka sendiri, sebelum menyuruh orang lain untuk mengubah nasib mereka? Sehingga ketika kami lahir, kami berada di keluarga yang cukup dan pernyataanku, “Mak, Mirah mau kuliah,” tidak menjadi cerita panjang saat sarapan pagiku.
Mak, seandainya Mirah benar angkat kaki, apakah Tuhan langsung melabeliku “anak durhaka”? apakah Tuhan tidak suka dengan hambanya yang ingin sekolah lagi? Apakah Tuhan tak senang melihat hambanya pintar? Apakah Tuhan tak ingin melihat hambanya berusaha mengubah takdirnya?
“Kapan Mak nimang cucu? Bagi Mak sekolah sampai SMA sudah cukup yang penting bisa itung-itungan toh, moco karo nulis. Kalo kamu kuliah kapan Mak istirahatnya, emang kowe ra kasian?”
“Ra usahlah sekolah tinggi-tinggi nanti kamu bakalan kayak Mak, di rumah, di dapur, urus keluarga juga.”
“kalau masih mau lanjut Mak nggak bisa kasih uang buat adek-adekmu sekolah, kamu mau mereka lulusan SD? Dibodoh-bodohi orang nanti, hah?”
“Mak dulu kawin sama Bapakmu umur 17, nggak punya biaya juga buat sekolah, Mak kerja seusia kamu.”
“Nanti apa kata orang, Mak punya perawan tua, kelamaan sekolah, nanti laki-laki di sini nggak mau nikah sama kamu. Kamu mau Mak diomongin sama tetangga, gitu?”
Entah mengapa, setiap kata-kata yang Mak keluarkan, ia menangkap rasa takut dari Mak. Seperti tersirat jika Mirah kuliah ia nantinya akan punya uang dan bekerja di Jakarta setelah lulus. Ia akan meninggalkan Mak dan tak akan kembali ke rumah.
Cuma kata-kata yang menakut-nakuti saja yang Mak keluarkan dan hendak meragukan keinginanku—yang kata Mak hal itu merupakan keegoisanku. Mirah tersenyum getir di sela-sela mengunyah nasi dan orek tempe dalam mulutnya.
Mirah melahap nasi terakhir dan kerupuk sebagai penutup. Ia membawa piring kotor ke dapur, lalu mencucinya. Selepas meletakkan piring dan sendok, Mirah berbalik ke arah Mak yang memunggunginya.
“Mak, Mirah dapat beasiswa kuliah di Jakarta.”
28/8/2020